Ahad, 12 Jun 2011

hati yang sedih

Kutulis surat ini untuk hati yang sedang bersedih, hati yang sering merasa sendiri. Hanya sepucuk suratsederhana, karena aku tidaklah pandai meramu kata dan tidak pula pandai menghibur. Aku disini bukanlah untuk mengukur dan menebak seberapa dalam kesedihanmu teman. Seberapa hebatnya aku dalam ilmu ukur sekalipun aku tetaplah tidak mampu. Karena aku hanyalah seorang teman yang sedang sedikit berusaha mengusapkan jarinya untuk menghapus air matamu.

Teman, bukan aku ingin menggurui. Aku hanya ingin mengingatkan sesuatu kepadamu, tentang hal yang dinamakan siklus – perputaran kehidupan. Ada dua sisi yang berlawananan, seperti gelap dengan terang. Maka sisi-sisi itu akanlah selalu ada. Berulang-ulang terjadi silih berganti.

Semua hal dalam hidup kita yang singkat ini hanyalah berdasarkan hukum itu. Cantik dan tidak cantik, kaya dan miskin, pandai dan tidak pandai. Sering kali terdengar klise, tapi engkau tahu itu sering kali selalu terdengar. Tapi, apakah kau sadar teman? Bahwa itu juga berlaku untuk kepergian dan kedatangan. Kita sering kali (malah selalu) bersedih kala kehilangan atau kepergian. Yah aku tahu itu, memang menyakitkan kehilangan orang yang telah datang dan memberi warna dalam hidup kita. Malah terkadang kepergiannya tanpa alasan sama sekali, laksana kelinci yang tiba-tiba muncul dari topi seorang pesulap. Tapi aku mau engkau mengingat teman, saat sesuatu itu datang dan berada di genggaman, apakah itu datang dengan suatu alasan?

Lupakah kita bahwa adakalanya kita mendapatkan suatu hal tanpa alasan. Ambil contoh dalam hal cinta. Apakah cinta itu datang dengan alasan? Mungkin engkau akan menjawab, iya aku cinta dia karena fisiknya yang menarik. Atau karena kepandaiannya. Atau karena kebaikannya. Tapi apakah engkau lupa satu hal? Aku percaya, bahwa hatimu sebenarnya tidak bisa mendeskripsikan kenapa engkau mencintainya. Karena sering kali terlepas dari kebaikan, kepandaian dan fisiknya maka engkau merasa mencintainya karena sesuatu hal yang tidak bisa dimengerti. Bukankah tanpa sebab ketika tiba-tiba saja engkau tersipu malu hanya dengan mengingat namanya? Bagaimana bisa engkau terpana hanya karena melihat sosoknya dari kejauhan saja? Bagaimana bisa engkau sumringah, buncah oleh perasaan bahagia hanya karena satu dua kata yang baru saja engkau terima darinya? Apakah engkau sungguh mengerti kenapa engkau bisa bertingkah ganjil seperti itu? Engkau yang selalu mengedepankan kelogisan?

Aku yakin bahwa engkau tidak tahu alasan itu teman. Yang engkau tahu hanyalah bahwa engkau sedang jatuh cinta. Tanpa alasan. Tidak percaya? Lihat lah baik-baik teman, ke zaman-zaman dibelakangmu. Apakah engkau bisa menghitung berapa juta arti, berapa juta larik puisi, berapa juta catatan torehan hati yang menyangkut akan jatuh cinta dari berbagai filsuf, pujangga, ilmuwan, raja, sufi bahkan orang miskin sekalipun. Semuanya mendeskripsikan cinta dengan bahasanya sendiri-sendiri dan bagaimana bisa hal itu terjadi? Karena semua orang tidak pernah tahu alasan jatuh cinta. Mereka hanya tahu dan menikmati kedatangannya. Tidak lebih. Tidak kurang.

Kembali lagi tentang hati teman, satu hal yang harus engkau ingat adalah bahwa kedatangan itu akan dipisahkan oleh kepergian. Begitupun yang terjadi dengan kedatangan cinta. Maka alasan kepergiannya pun tidak dimengerti. Ah, disini aku tidak mau berdebat tentang apa alasan kepergian itu (toh bisa saja karena sakit, khianat, atau malah karena kesepakatan tertentu..seribu satu alasan ada untuk itu). Aku hanya ingin engkau mencoba ingat bahwa datang itu pasti disusul oleh pergi (dan pergipun akan disusul lagi oleh datang yang baru). Sama sederhananya seperti bayi yang pastinya akan berubah menjadi dewasa dan mati (bahkan manusia pun datang dan akhirnya pergi bukan?). Jadi HAL ITU TIDAKLAH TERELAKKAN. Pasti terjadi!

Aku hanya ingin mengingatkan, sebagaimana kita menikmati suatu kedatangan maka seharusnya kita menikmati pula kepergian. Nikmatilah dengan cara yang sama tapi sedikit berbeda seperti kedatangan, ikhlas. Sebagaimana engkau selalu ikhlas akan kedatangan sesuatu yang baik, maka ingatlah bahwa engkau pun harus ikhlas akan kepergian. Bukankah kita ikhlas akan kedatangan nasib baik, kedatangan harta, atau kedatangan orang yang dicinta sekalipun? Harusnya demikian jugalah waktu untuk kepergian dan melepas. Melepas sesuatu yang memang bukan milik kita (karena bukankah faktanya semua hanya titipan_Nya? Jadi bagaimana pula kita bisa mengeluh untuk semua hal yang jelas-jelas bukan milik kita?).

Aku ingin engkau percaya bahwa itu memang sesederhana ini. S-E-D-E-R-H-A-N-A. Hati kitalah yang memperumitnya. Memperumit dengan suatu bantahan yang selalu keluar, bantahan yang intinya menyangkal bahwa kepergian itu terjadi. Kenapa? Bagaimana bisa? Apa yang salah? Sungguh teman, tidak ada alasan lebih. Tidak ada pula ada yang salah. Sesungguhnya semua terjadi karena memang sudah waktunya. Memang waktunya bahwa pergi itu akan datang. Maka bersyukurlah, berdoalah, mintalah kekuatan dari_Nya dan relakanlah.

Yakinlah bahwa Tuhan selalu tersenyum dengan caranya kepada kita. Mempersiapkan segala yang kita butuhkan dengan kemisteriusan jalan-Nya. Jadi sekali-sekali teman, berhentilah bertanya, terimalah dengan lapang dada. Bersiaplah untuk rencana baru yang dipersiapkan oleh-Nya. Karena aku yakin, bahwa Dia tidak akan mempersiapkan hal yang buruk untuk makhlukNya, semuanya indah walau kita tidak tahu dengan jelas jalan pikiran-Nya. Berhentilah bersedih.

Semoga surat sederhana ini membuatmu bersemangat kembali. Sampai nanti dan akhirnya harus “pergi” juga. Sampai disini saja suratku ini teman, smoga bisa menebus keterbatasanku sebagai temanmu selama ini. Ingatlah bahwa engkau sama sekali tidaklah sendiri.

“Bukankan Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu yang telah memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama) mu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan) kerjakanlah dengan sungguh-sungguh pekerjaan yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” [Al-Insyirah 94;1-8]